Jumat, 02 Oktober 2009

Filsafat

HAKIKAT PENGETAHUAN DAN CARA MEMPEROLEH PENGETAHUAN

(Kajian Teoritis Menurut Tinjauan Filsafat Pengetahuan)

Oleh :


I Gede Joniarta


I. Pendahuluan

Manusia merupakan mahluk hidup yang paling sempurna dibandingkan dengan mahluk hidup yang lainnya. Kesempurnaan manusia yang dimaksud karena manusia memiliki idep (pikiran) yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Hal ini dapat kita temukan dalam kitab suci Weda (Suja, 2006). Lebih lanjut, menurut Aristoteles (Suja, 2006), menyatakan manusia adalah hewan berakal budi (animal rasionale). Hal ini senada dengan pengertian menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI, 2002), yang mengartikan manusia adalah makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Orang-orang bijak menyebutnya binatang yang bijaksana (Homo sapien). Dengan rasio yang dimiliki, maka manusia dituntut untuk memikirkan secara lebih dalam tentang dirinya sendiri. Meskipun demikian, sampai saat ini manusia nampaknya belum juga memperoleh penyelesaian mengenai masalah pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang dirinya sendiri.

Manusia, selain sebagai makhluk yang berakal juga sebagai makhluk yang susila. Dengan demikian, manusia dibedakan dari binatang bukan hanya karena ia memiliki akal, melainkan juga karena sekaligus ia mempunyai keinsyafan atau kesadaran kesusilaan (Soemargono, 1987). Manusia, dengan kedua kelebihan yang dimiliki tersebut, dituntut untuk terus berpikir dan menggunakan pikirannya ke hal-hal yang baik.

Manusia, berawal dari pikirannya timbul keinginan untuk mengetahui apa yang dapat diamati (objek nyata), bahkan yang tidak dapat diamati (objek tidak nyata). Keingintahuan manusia diterjemahkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang ada dipikirannya. Ketika manusia menanyakan hal-hal yang paling esensial, maka dikatakan manusia sedang berfilsafat (Drijarkara, 1994). Seperti misalnya, apa itu manusia? apa itu pengetahuan? apa itu Tuhan? dan lain-lain.

Berkaitan dengan hal di atas, dalam makalah ini penulis mencoba untuk mengungkap hakikat pengetahuan dan cara memperoleh pengetahuan berdasarkan sudut pandang epistemologi (filsafat pengetahuan).

II. Pembahasan

Epistemologi dan Kedudukan Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)

Kata epistemologi berasal dari kata Yunani, terdiri dari dua kata yaitu episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan dan logos berarti kata, pikiran, percakapan teori, atau ilmu. Jadi, secara etimologi epistemologi berarti teori, kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau bisa pula disamakan dengan Theory of knowladge (Rafar dalam Atmadja, 2007:65). Sumarsono (2004) dalam bukunya yang berjudul Filsafat Bahasa menyatakan epistemologi ialah cabang filsafat yang mengkaji tentang dasar-dasar dan batas-batas ilmu pengetahuan. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Surajiyo (2007), menyatakan epistemilogi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan kesahihan pengetahuan.

Istilah-istilah lain yang setara maksudnya dengan epistemologi dalam pelbagai kepustakaan filsafat kadang-kadang disebutkan juga logika material, criteriology, kritika pengetahuan, gnosiology, dan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah filsafat pengetahuan (Abbas Hamami M. dalam Surajiyo, 2007:24). Logika material lebih menitik beratkan pada penetapan kebenaran dari suatu pemikiran ditinjau dari segi isinya. Segi isi yang dimaksud berkaitan dengan kebenaran materiil yang kadang-kadang disebut juga kebenaran autentik. Kriteriologia berasal dari kata kriterium yang berarti ukuran. Dalam hal ini yang dimaksud adalah ukuran untuk menetapkan benar-tidaknya suatu pikiran atau pengetahuan tertentu. Kritika pengetahuan sedikit banyaknya ada sangkut pautnya dengan istilah kriteriologia. Kritika disini adalah sejenis usaha manusia untuk menetapkan, apakah sesuatu pikiran atau pengetahuan manusia itu sudah benar atau tidak benar dengan jalan meninjaunya secara sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Jadi, secara singkat dapat dikatakan kritika pengetahuan menunjuk kepada suatu ilmu pengetahuan yang bedasarkan tinjauan secara mendalam, berusaha menentukan benar tidaknya sesuatu pikiran atau pengetahuan manusia. Gnoseologia berasal dari kata gnosis dan logos. Gnosis berarti pengetahuan yang bersifat keilahian, sedangkan logos berarti ilmu pengetahuan. Dengan demikian, gnosiologia berarti ilmu pengetahuan atau cabang filsafat yang berusaha untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pengetahuan khususnya mengenai pengetahuan yang bersifat keilahian. Filsafat pengetahuan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji tentang segala hal yang berkaitan dengan pengetahuan baik asal mula pengetahuan, sumber pengetahuan, terjadinya pengetahuan sampai pada kesahihan pengetahuan. Istilah epistemologi dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai filsafat pengetahuan (Surajiyo, 2007:25).

Epistemologi sebagai cabang filsafat memiliki kedudukan diantara filsafat-filsafat lainnya. Ada pun kedudukan epistemologi dapat dilihat pada Gambar 01 di bawah ini.

Gambar 01. Kedudukan Epistemologi dalam Filsafat

(Sumber: Mudyaharjo, 2001: 7)

Berdasarkan gambar di atas, tampak bahwa epistemologi termasuk ke dalam filsafat umum. Filsafat umum yang dimaksud yaitu objek yang dikaji berkaitan dengan kenyataan keseluruhan segala sesuatu (Abdullah, 2001).

Hakikat pengetahuan

2.2.1 Pengertian Pengetahuan

Internation dictionary of education seperti yang dikutip oleh The Liang Gie (Atmadja, 2007) menyatakan bahwa pengetahuan adalah kumpulan fakta-fakta, nilai-nilai, keterangan, dan sebagainya yang didapat lewat penelaahan, ilham, atau pengalaman. Begitu pula The Concise Dictionary of Education menyatakan bahwa pengetahuan adalah keseluruhn fakta-fakta, keterangan, dan asas-asas yang diperoleh melalui belajar dan pengalaman.

Menurut Surajiyo (2007:26) pengetahuan adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menuturkan apabila sesorang mengenal tentang sesuatu. Lebih lanjut, dikatakan suatu hal yang menjadi pengetahuannya adalah selalu terdiri atas unsur yang mengetahui dan yang diketahui serta kesadaran tentang hal yang ingin diketahuinya itu. Oleh karena itu, pengetahuan selalu menuntut adanya subjek yang mempunyai kesadaran untuk mengetahui tentang sesuatu dan objek yang merupakan sesuatu yang dihadapinya sebagai hal yang ingin diketahuinya.

Berikut ini disajikan beberapa pengertian atau definisi pengetahuan menurut pendapat berbagai pakar, seperti pada Tabel 01.

Tabel 01. Pengertian atau definisi pengetahuan dari berbagai pakar

Nama

Penjelasan tentang pengertian pengetahuan

Kattsoff (1989)

Pengetahuan adalah pernyataan yang memberitahukan bahwa hal-hal tertentu itulah yang merupakan halnya. Mempunyai pengetahuan berarti mempunyai kepastian bahwa apa yang dinyatakan dalam pernyataan-pernyataan sungguh-sungguh benar atau sungguh merupakan halnya.

Suriasumanti (2001)

Pengetahuan pada hakikatnya merukan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu termasuk ke dalamnya adalah ilmu. Jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia. Selain ilmu, pengetahuan mencakup hal-hal lainnya, yakni agama dan seni. Bahkan anak kecil pun telah memiliki berbagai pengetahuan, sesuai dengan tahap pertumbuhan dan kecerdasannya.

Keraf dan Dua (2001)

Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya

Pranarka (1989)

Pengetahuan adalah suatu persatuan antara subjek objek: dengan mengetahui subjek menjadi manunggal dengan objek dan objek, menjadi manunggal dengan subjek. Kemanunggalan ini adalah kemanunggalan yang sungguh-sungguh mendalam. Karena itu, pengetahuan bukan sekedar pertemuan antara subjek dan objek, tetapi sungguh-sungguh merupakan suatu kesatuan. Ada terjadi suatu intrinsic union dan bukan sekedar extrinsic union antara subjek dan objek. Pengetahuan pada hakikatnya selalu bersifat rasional, artinya berada di dalam keterhubungan antara subjek dan objek.

Watloly (2001)

Pengetahuan merupakan upaya khusus manusia untuk meningkap realitas, supaya memungkinkan manusia berkomunikasi satu sama lainnya, berdialog dengan mengakui yang lain, serta melakukan transendensi terhadap realitas. Pengetahuan bukan menjadi wilayah mengada manusia yang lengkap akan tetapi merupakan suatu sarana yang memungkinkan adanya tindakan manusiawi.

The Liang Gie

(1981)

Secara sederhana pengetahuan pada dasarnya adalah keseluruhan keterangan dan ide yang terkandung dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai sesuatu gejala/peristiwa baik yang bersifat alamiah, sosial maupun keorangan. Jadi pengetahuan menunjuk pada sesuatu yang substantif yakni, hal yang faktual yang terkandung pada ilmu.

(Sumber : Atmadja, 2007)

Berdasarkan uraian beberapa ahli yang mendefinisikan tentang pengetahuan di atas, dapat kami rangkum pengetahuan adalah segala sesuatu yang kita ketahui dari suatu objek yang pada dasarnya merupakan keseluruhan keterangan dan ide yang terkandung di dalamnya.

2.2.2 Karakteristik Pengetahuan

Menyimak definisi-definisi pengetahuan di atas, kita dapat menyusun karakteristik pengetahuan, seperti uraian berikut ini.

1. Pengetahuan adalah hasil dari tahu dengan menyinergikan indera (realitas, fakta, peristiwa) dan rasio (pikiran, akal budi, ide).

2. Pengetahuan bisa melibatkan intuisi atau bersifat intuitif (pengalaman inderawi dan pengalam intuitif), mengingat bahwa suatu penampakan tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak pada kita dan hanya intuisilah yang dapat menagkapkan kepada kita kaeadaanya yang senyatanya.

3. Pengetahuan melibatkan hubungan atara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui (subjek-objek, inderawi – intelektif).

4. Pengetahuan manusia bersifat inderawi lahir dan inderawi batin. Inderawi lahir berarti penyerapan alat-alat indera, sedangkan inderawi batin berarti pengetahuan bisa muncul dalam bentuk ingatan atau hayalan baik mengenai apa yang ada, yang tidak ada, yang telah lewat maupun yang terdapat di luar jangkauannya.

5. Pengetahuan bersifat reflektif artinya dia terungkap dalam bentuk konsep, definisi, putusan, lambang, mitos atau karya sastra.

6. Pengetahuan bersifat diskursif artinya dia datang dari keseluruhan ke bagian-bagian, dari bagian-bagian ke keseluruhan, dari sebab ke akibat, dari akibat ke sebab, dari prinsip ke konsekuensi, dari konsekuensi ke prinsip.

7. Pengetahuan bersifat induktif artinya menarik yang universal dari yang individual

8. Pengetahuan bersifat deduktif artinya menarik yang individual dari yang universal

9. Pengetahuan bersifat kontemplatif artinya mempertimbangkan benda-benda dalam dirinya dan untuk dirinya sendiri.

10. Pengetahuan bersifat spekulatif artinya mempertimbangkan benda-benda dalam bayangan ide-ide.

11. Pengetahuan bersifat lebih spontan, dan belum dilakukan secara sistematis dan metodis

12. Pengetahuan bersifat perspektif artinyamenungkinkan untuk menyesuaikan diri dengan situasi, tercermin pada tindakan sosial.

13. Pengetahuan bersifat simbolik artinya tidak memuat realita secara utuh melainkan diringkas dan diabstraksikan dengan memakai bahasa-bahasa lisan maupun bahasa tubuh.

14. Pengetahuan bersifat sosial artinya tumbuh dan berkembang lewat hubungan sosial dan diwariskan secara terus menerus lewat pembelajaran.

15. Pengetahuan mempunyai muatan kepastian artinya apa yang dinyatakan di dalam pernyataan-pernyataan sungguh-sungguh benar atau sungguh-sungguh merupakan halnya sehingga terjadi kemanunggalan antara subjek dan objek.

16. Pengetahuan memiliki cakupan yang sangat luas termasuk di dalamnya apa yang disebut ilmu pengetahuan.

17. Pengetahuan dalam berbagai bentuknya, tersimpan dalam pikiran membentuk suatu kesatuan sintesis.

18. Pengetahuan pada setiap orang berbeda satu sama lainnya, bergantung pada pengalaman, tahap pertumbuhan dan kecerdasannya.

19. Pengetahuan manusia mengenai sesuatu yang tersimpan dalam pikiran hanya memuat hal yang esensial dan tidak sepenuhnya menyangkut suatu keberadaan.

20. Pengetahuan manusia adalah bagian dari kebudayaan, artinya sistem budaya superstruktur ideology atau tatanan kenyataan yang ideal.

21. Pengetahuan manusia dalam bentuk apapun pada dasarnya bersifat terbatas dan tidak sempurna, sehingga selalu tumbuh dan berkembang, secara setapak demi setapak.

22. Pengetahuan manusia pada dasarnya merupakan perpaduan antara sudah tahu dan belum tahu.

23. Pengetahuan melenyapkan kebodohan

24. Pengetahuan adalah kekayaan batin yang abadi, artinya dengan memiliki pengetahuan diri kita menjadi tahu terhadap sesuatu hal (Wibawa, 2006).

Pemaparan tentang karakteristik pengetahuan di atas tentu masih dapat dikembangkan tergantung dengan kemampuan kita dalam menganalisa suatu objek.

2.2.3 Sumber Pengetahuan

Sumber lahirnya pengetahuan diawali dengan keingintahuan pada diri seorang dalam mengamati suatu keanehan atau menonjolnya sesuatu gejala yang mendorong dilakukannya penelitian atau penelusuran. Berdasarkan hal tersebut, Atmadja (2007) menyatakan bahwa pengetahuan adalah hasil dari tahu dengan mensinergikan indra (realitas, fakta, peristiwa) dan rasio (pikiran, akal budi, idea).

Menurut Atmadja (2007) ada lima sumber pengetahuan, yaitu :

1. Empirisme

Aliran empirisme mengatakan bahwa manusia dilahirkan seperti kertas kosong dan pengalaman yang akan memberikan lukisan kepadanya. Dunia empiris merupakan sumber pengetahuan utama dalam dunia pendidikan yang dikenal dengan teori tabula rasa. Pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman, dengan jalan observasi, atau dengan jalan pengindraan. Pengalaman merupakan faktor fundamental dalam pengetahuan manusia, karena pengetahuan berasal dari segala apa yang kita dapatkan melalui alat indra. Pengalaman menurut Randall (Burhannuddin, 1996) dapat diklasifikasi menjadi enam, yaitu (1) merupakan akumulasi pengetahuan, (2) suatu kualitas dari perasaan atau emosi, (3) keseluruhan lapangan kesadaran kita, (4) suatu latihan yang sistematis dalam melakukan teknik-teknik observasi secara sadar, (5) sebagai dunia fakta, dan (6) sebagai suatu relasi atau hubungan.

2. Rasionalisme

Menurut aliran rasionalisme (pikiran manusia) sumber satu-satunya dari pengetahuan manusia adalah rasionya (akal budinya). Hal ini terlihat pada gagasan Plato yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar sudah ada bersama kita dalam bentuk ide-ide yang tidak dipelajari, melainkan merupakan bawaan (Atmadja, 2007). Aliran ini sangat mendewakan akal budi manusia yang melahirkan paham intelektualisme dalam dunia pendidikan. Rasio mampu mengetahui kebenaran alam semesta, yang tidak mungkin dapat diketahui melalui observasi. Menurut aliran rasionalisme, pengalaman tidak mungkin dapat menguji kebenaran “hukum sebab akibat”, sebab peristiwa yang banyak tak terhingga itu tidak mungkin dapat diobservasi. Dengan demikian, aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan yang benar hanya diperoleh dari pikiran, rasio dan kesadaran, bukan dari kenyataan material di luar kita, sehingga tidak mengherankan jika aliran ini disebut rasionalisme dan intelektualisme.

3. Kritisme: Sebuah Sintesis

Kedua pandangan yang bertolak belakang tersebut di atas akhirnya berusaha didamaikan saat zaman Yunani oleh Aristoteles. Ia menyatakan bahwa “... pengetahuan manusia tercapai sebagai hasil kegiatan manusia yang mengamati kenyataan yang banyak, lalu menarik unsur-unsur dari partikuler. Seiring dengan munculnya pernyataan tersebut akhirnya munculah paham kritisme. Pada paham ini, manusia selalu merasa tidak puas akan sesuatu, dan cendrung mengkritisi hal-hal baru tersebut sampai pada tingkat kebenaran yang sejati, bukan suatu kebenaran yang salah (Watra, 2007:8)

4. Kesaksian Sebagai Sumber Pengetahuan

Kesaksian sebagai sumber pengetahuan lebih meletakkan pada otoritas kelayakan saksi untuk dipercaya (Atmadja, 2007:97; Surajiyo, 2007:28). Adapun dasar suatu kesaksian dapat dipercaya adalah pertama otensitas artinya saksi memiliki kemungkinan untuk mengetahui hal yang dikemukakan. Kedua, integritas artinya saksi memiliki kelayakan untuk dipercaya (Wahyudi dalam Atmadja, 2007:97). Hal yang senada juga diungkapkan Surajiyo (2007:29) menyatakan pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas biasanya tanpa diuji lagi karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibawaan tertentu. Jenis-jenis kesaksian yang dapat dijadikan sumber pengetahuan adalah sebagai berikut :

1. Kesaksian manusiawi. Kesaksian seperti ini dapat berbentuk kesaksian langsung dan tidak langsung. Kesaksian langsung yang dimaksud orang yang bersangkutan langsung menyaksikannya, sedangkan kesaksian tak langsung, kesaksian yang diperoleh berdasarkan pemberitahuan orang lain.

2. Kesaksian Ilahi. Kesaksian seperti ini berkaitan dengan keyakinan agama-agama wahyu.

3. Kesaksian tertulis dan lisan. Kesaksian tertulis misalnya berwujud dokumen, sedangkan kesaksian lisan berwujud pengalaman.

4. Kesaksian formal dan non formal. Kesaksian seperti ini bisa berwujud tanda kehormatan, gelar kesarjanaan dan lain-lain.

5. Agama Sebagai Sumber Pengetahuan

Agama merupakan ajaran yang dipakai sebagai dasar pedoman bagi pemeluknya untuk bepikir, berbuat dan bertingkah laku. Agama memberikan pengetahuan tentang hakikat dunia, manusia dan Tuhan, termasuk di dalamnya tata aturan yang harus ditaati agar tercapai kehidupan yang damai. Agama juga difungsikan sebagai inti dari kebudayaan sehingga menyangkut berbagai bidang kehidupan manusia serta tradisi-tradisi dalam kehidupannya. Terkait dengan agama sebagai sumber pengetahuan, sehingga tidak bisa terlepas dari yang namanya wahyu Tuhan. Orang memandang bahwa ajaran agama bersumber dari wahyu Tuhan. Wahyu Tuhan merupakan pengetahuan yang disampaikan langsung oleh Tuhan melalui para Nabinya. Wahyu Tuhan berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh empiris maupun yang menyangkut permasalahan yang trasendental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia dan segala isinya, dan kehidupan akhirat nanti (Baharuddin, 1988). Pengetahuan ini berdasarkan kepercayaan atau keimanan kita kepada Tuhan sebagai sumber pengetahuan. Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang dimulai dari ketidak percayaan, yang kemudian dikaji dengan penelitian, pengalaman dan percobaan untuk sampai pada kebenaran yang faktual.

6. Intuisi sebagai sumber pengetahuan

Selain kelima sumber tersebut, Baharuddin (1988) menyatakan bahwa intuisi juga merupakan sumber pengetahuan. Secara etimologi istilah intuisi berarti langsung melihat. Secara umum intuisi diartikan sebagai metode yang tidak berdasarkan penalaran maupun pengalaman dan pengamatan indera. Kaum intuisionis berpendapat bahwa, manusia mempunyai kemampuan khusus, yaitu cara khusus untuk mengetahui yang tidak terikat kepada indra maupun penalaran. Pengetahuan yang diperoleh dengan intuisi, bukanlah pengetahuan yang berasal dari luar diri kita, yang bersifat dangkal, melainkan berasal dari dalam diri kita. Dengan intuisi kita mengetahui diri kita, mengetahui karakter, perasaan, dan motif orang lain, serta kita mengetahui, mengalami hakekat yang sebenarnya tentang waktu, gerak dan aspek-aspek yang fundamental dalam jagat raya ini. Oleh karena itu intuisi bersifat individual dan tidak dikomunikasikan serta intuisi bersifat tertutup.

7. Keyakinan Sebagai Sumber Pengetahuan

Keyakinan adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh dari kepercayaan. Sesungguhnya sumber pengetahuan yang berupa wahyu dan keyakinan sangat sukar dibedakan dengan jelas, karena keduanya menggunakan alat yaitu kepercayaan, namun dalam wahyu secara dogmatik diikutinya peraturan yang berupa agama sedangkan keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia yang merupakan pematangan dari kepercayaan.

2.2.4 Penggolongan Pengetahuan

Menurut Soejono Soemargono (1983) pengetahuan dapat dibagi atas pengetahuan non ilmiah dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan non ilmiah ialah pengetahun yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara yang tidak termasuk ke dalam kategori metode ilmiah. Sebagai contoh bagi orang yang percaya Tuhan, beranggapan Tuhan itu memang ada. Namun, hal tersebut sulit dibuktikan secara ilmiah. Pengetahuan ilmiah ialah pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara metode ilmiah. Sebagai contoh air apabila dipanaskan akan memuai. Hal ini dapat dibuktikan dengan metode ilmiah.

Pengetahuan juga dapat dibagi berdasarkan tingkatan-tingkatan pengetahuan sesuai dengan karakteristik objeknya. Menurut Plato dan Aristoteles (Surajiyo, 2007) dan Setia (1997) membagi pengetahuan sebagai berikut.

1. Pengetahuan Eikasia (Khayalan)

Pengetahuan jenis ini merupakan pengetahuan yang tingkatannya paling rendah. Pengetahuan ini objeknya berupa bayangan atau gambaran.

2. Pengetahuan Pistis (Substansial)

Pengetahuan ini satu tingkat di atas pengetahuan Eikasia. Pengetahuan ini berkaitan dengan hal-hal dunia kenyataan atau hal-hal yang dapat diindera secara langsung.

3. Pengetahuan Dianoya (Matematika)

Pengetahuan ini satu tingkat di atas pengetahuan Pistis. Pengetahuan jenis ini tidak hanya berkaitan dengan fakta atau objek yang tampak, tetapi juga terletak pula pada bagaimana cara berpikirnya. Cara berpikir yang dimaksud yaitu dengan menggunaka cara berpikir ilmiah.

4. Pengetahuan Noesis ( Filsafat )

Pengetahuan jenis ini merupakan jenis pengetahuan yang paling tinggi. Pengetahuan ini objeknya adalah prinsip-prinsip utama yang mencakup epistemologi dan metafisik

Penggolongan pengetahuan juga dapat dilihat menurut perspektif Hindu. Menurut perspektif Hindu, pengetahuan dibedakan menjadi dua jenis yaitu, apara widya dan parawidya. Pengetahuan aparawidya adalah pengetahuan yang berkaitan dengan alam material, sehingga pengetahuan ini juga disebut dengan pengetahuan duniawi. Pengetahuan parawidya adalah pengetahuan yang menyangkut sesuatu di luar alam material. Misalnya pengetahuan tentang Ketuhanan. Pengetahuan ini juga disebut pengetahuan rohani (Sarkar dalam Atmadja, 2007). Lebih lanjut, pengetahuan dapat digolongkan berdasarkan empat sudut pandang. Empat sudut pandang yang dimaksud seperti terlihat pada Tabel 02 dibawah ini.

Tabel 02. Penggolongan Pengetahuan Berdasarkan Empat Sudut Pandang

No

Dasar Penggolongan

Ruang Lingkup (Jenisnya )

1

Penggolongan atas dasar objeknya

1) Pengetahuan khusus

2) Pengetahuan umum

3) Pengetahuan metafisis

2

Pengetahuan atas dasar metode pendekatannya

1) Pengetahuan Aposteriori

2) Pengetahuan Apriori

3) Pengetahuan eksperimental

3

Pengetahuan atas dasar penggunaannya

1) Pengetahuan teoritis

2) Pengetahuan Praktis

4

Pengetahuan atas dasar bidang kehidupan yang dijelajahi

1) Pengetahuan kejiwaan

2) Pengetahuan alam

3) Pengetahuan kemasyarakatan

4) Pengetahuan teknologi, dll

(Sumber : Suhono dalam Atmadja, 2007)

2.2.5 Perbedaan Pengetahuan dan Kepercayaan

Sebagian besar masyarakat masih memiliki pemahaman yang kabur tentang pengetahuan dan kepercayaan (keyakinan). Untuk lebih memperjelas kedua istilah tersebut, berikut disajikan perbedaan antara pengetahuan dan kepercayaan seperti pada Tabel 03.

Tabel 03. Perbedaan antara Pengetahuan dan Kepercayaan

Pengetahuan

Kepercayaan

Pengetahuan selalu mengandung kebenaran. Artinya, apa yang diketahui adalah benar, karena didukung oleh bukti-bukti berupa fakta, sakti, memori, catatan hostoris, dll. Berkenaan dengan itu, bisa jadi kita hanya dapat mengatakan bahwa pengetahuan selalu benar, karena kita tidak lagi menyebut suatu hal adalah pengetahuan, jika ternyata hal itu salah. Jika saya benar-benar merasa pasti akan sesuatu dan kemudian suatu ketika sampai pada kesimpulan bahwa hal itu salah, maka saya akan mengatakan bahwa saya memang mengetahuinya, namun keliru (Ewing, 2003:73). Karena itu, pengetahuan acap kali patah tumbuh hilang berganti.

Kepercayaan mungkin salah, dan mungkin pula tidak pasti terhadap apa yang dipercayai. Hal ini sah saja sebagai suatu keyakinan. Misalnya, orang Bali percaya akan adanya leyak. Begitu pula kepercayaan orang Jawa tentang semar sebagai dewa yang maha sakti (Sumukti, 2005). Kepercayaan seperti ini bisa benar atau bisa pula salah. Kepercayaan, terutama yang terkait dengan agama, walaupun tidak ada kepastian apa wujud subjek yang dipercai oleh penganutnya, namun tidak mudah untuk menghilangkannya. Sebab kepercayaan tidak hanya terkait dengan rasa kagum, hormat dan takut tetapi juga karena kepercayaan terpelihara dalam masyarakat secara histories (Trueblood, 1986).

Apa yang dianggap sebagai pengetahuan selalu dirumuskan sebagai proposisi (hipotesa). Proposisi ini sah sebagai pengetahuan kalau teruji secara empirik.

Proposisi yang tidak teruji, maka dia hanya sebagai keyakinan atau kepercayaan. Misalnya:(a) Matahari sebagai pusat tata surya, (b) tahun 2009 Megawati akan terpilih lagi menjadi presiden RI.

Pernyataan-pernyataan ini bisa merupakan pengetahuan atau bisa pula keyakinan. Jika dicermati, pernyataan nomor a adalah pengetahuan karena benar adanya. Sebaliknya, proposisi nomor b hanyalah keyakinan, sebab belum tentu kebenarannya.

Fakta merupakan pengujian proposisi yang paling penting. Russell (1982) mendefinisikan bahwa fakta adalah segala sesuatu yang ada di dunia. Fakta sering bebas dari keinginan kita, sehingga fakta sering disebut “keras” atau “keras kepala” atau tak dapat dihindarkan. Namun, fakta tidak cukup untuk menyatakan suatu proposisi adalah benar, melainkan harus pula disertai dengan prinsip-prinsip tertentu dengan apa kesimpulan ditarik dari fakta-fakta yang ada.

Kepercayaan tidak terkait pada fakta, sehingga peluang salah dan atau tidak pasti sangat besar. Bahkan, sesuatu yang dipercayai acapkali tidak menuntut fakta. Jikalaupun kepercayaan bisa melahirkan simbol, maka simbol itu tidak bisa disebut fakta.

Pengetahuan (ilmu pengetahuan) menekankan pada fakta atau bukti empirik, sehingga kalau ada yang menyangkalnya, maka tidak bisa lagi disebut pengetahuan.

Ketidakbiasaan dibuktikan secara empirik mengakibatkan kepercayaan acapkali dikaitkan dengan dogmatisme dan emosionalisme.

Pengetahuan menuntut keterbukaan, karena apa yang kita sebagai sesuatu yang benar bisa saja keliru.

Kepercayaan yang dipegang secara kuat bisa mengakibatkan orang tidak bertoleransi kepada kepercayaan orang lain

(Sumber : Atmadja, 2007)

Menyimak uraian di atas, antara pengetahuan dan kepercayaan, tampak bahwa keduanya memang memiliki makna yang berbeda. Namun demikian, keduanya sama-sama merupakan sikap mental yang terkait dengan cara pandang manusia terhadap suatu realitas.

Cara Manusia memperoleh pengetahuan

Menurut Charles Peirce (Kerlinger, 2006) menyatakan ada empat jalan untuk memperoleh pengetahuan. Pertama, dengan cara kegigihan/keuletan. Dengan cara ini kita dapat memegang teguh kebenaran, yakni kebenaran yang kita kenal sebagai hal yang benar karena kita memegangnya teguh-teguh dan senantiasa mengetahuinya sebagai sesuatu yang benar. Kedua, dengan cara otoritas/kewenangan. Ini merupakan cara yang ditempuh dalam hal keyakinan yang telah mapan. Misalnya, jika seorang pakar fisika yang hebat mengemukakan bahwa Tuhan ada, maka begitulah halnya. Ketiga, dengan cara a priori. Cara ini menurut Kohon dan Negel (Kerlinger, 2006) disebut dengan metode intuisi. Keempat, dengan cara metode ilmu pengetahuan. Cara ini sering dikenal dengan metode ilmiah. Ciri metode ini tidak ada pada ketiga metode lainnya.

III. Penutup

Hakikat manusia seperti yang telah diuraikan yaitu sebagai makhluk yang berakal budi. Hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup ciptaan Tuhan yang lainnya. Dengan akal budinya manusia mampu berpikir terhadap sesuatu hal baik yang nyata (sekala) maupun yang tidak nyata (niskala). Kemampuan berpikir manusia ini mendorong manusia ingin tahu terhadap suatu objek. Rasa ingin tahu inilah yang menyebabkan manusia berusaha untuk mencari tahu. Hal ini diawali dengan menanyakan terhadap segala sesuatu hal termasuk di dalamnya apa itu pengetahuan?

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, hakikat dari pengetahuan adalah segala sesuatu yang kita ketahui dari suatu objek baik yang dapat diamati (nyata) maupun yang tidak dapat diamati (tidak nyata) dan pada dasarnya merupakan keseluruhan keterangan dan ide yang terkandung di dalamnya.

Pengetahuan dapat diperoleh melalui berbagai cara diantaranya dengan cara keuletan, otoritas, apriori dan metode ilmiah. Lebih lanjut pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai sumber misalnya: empirisme, rasionalisme, kritisme, kesaksian, agama, dan keyakinan.

Daftar Pustaka

Abdullah, I. 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Atmadja, B. N. 2007. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Buku Ajar. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha

Barnadib, I. 2002. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa

Burhanuddin, S. 1988. Pengantar Filsafat. Cetakan Kedua. Jakarta : Bina Aksara

Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka

Drijarkara, S. J. N. 1994. Filsafat Manusia. Yogyakarta: Kanisius

Kerlinger, N. F. 2006. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Muhadjir, H. N. 2001. Filsafat Ilmu Positivisme, PostPositivisme, dan Modernisme. Edisi II. Yogyakarta: Rake Sarasin

Poespoprodjo, W. 1999. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. Bandung: Pustaka Grafika

Soemargono, S. 1987. Berpikir Secara Kefilsafatan. Yogyakarta: Nur Cahaya

Suja, I W. 2006. Sains Veda. Denpasar: Majalah Hindu Raditya

Sumarsono. 2004. Filsafat Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Widya Sarana Indonesia

Surajiyo, 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara

Suriasumantri, S. J. 2001. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Setya, I K. 1997. Pengantar Filsafat. Jakarta: Universitas Terbuka

Watra, I W.2007. Pengantar Filsafat Hindu (Tattwa I).Denpasar: Paramita

Wibawa, A. 2006. Mengapa Kita Melakukan Apa?. Denpasar: Bali Aga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar