Jumat, 02 Oktober 2009

Filsafat KB

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Manusia merupakan mahluk sosial yang dalam kesehariannya tidak bisa lepas dari interaksi antar sesama termasuk dengan ”mahluk lain”. Karena terus berinteraksi, maka akan ada suatu perasaan saling memiliki. Sehingga muncullah niat untuk hidup bersama yang akan berimplikasi pada adanya perasaan manusia untuk mengadakan hubungan dengan lawan jenis melalui reproduksi.

Interaksi antara manusia satu dengan manusia yang lain pada suatu tempat dalam kurun waktu tertentu dikenal dengan istilah populasi. Dalam istilah sosial, populasi dikonversi menjadi masyarakat, yang dalam budaya Bali masyarakat berada dalah suatu wadah yang disebut dengan ”Desa Pekraman”. Masyarakat Bali menyepadankan istilah masyarakat dengan Bahasa Bali yaitu ”merase raket”. Apabila yang berkumpul itu adalah manusia, maka disebut dengan populasi manusia. Populasi ini bersifat sangat dinamis. Hal ini terjadi oleh karena munusia memiliki sifat yang sangat mobil. Artinya dapat berpidah tempat ke mana pun. Dengan berpindah tempat maka akan terjadi perubahan jumlah populasi manusia. Daerah yang didatangi oleh manusia dan tinggal di sana dalam kurun waktu tertentu, akan mengalami penambahan jumlah populasi, sedangkan daerah yang ditinggalkan akan mengalami pengurangan jumlah populasi.

Selain dengan adanya perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat yang lain (migrasi), perubahan pupulasi terjadi akibat adanya kelahiran (natalitas) dan kematian (mortalitas). Kelahiran anak manusia terjadi sebagai akibat dari adanya perkawinan antara seorang laki-laki dengan sorang perempuan.

Melalui perkawinan, maka reproduksi manusia terus berjalan. Jumlah manusia, akan terus bertambah akibat dari perkawinan itu, jumlah individu dalam populasi makin bertambah dan secara langsung berimplikasi pada meningkatnya kepadatan penduduk.

Ini suatu masalah besar jika terus berlangsung. Menyikapi fenomena itu, pemerintah mengambil suatu tindakan yang sangat tepat yaitu dengan dikeluarkannya program KB (keluarga berencana). KB, KB, dan KB. Itulah seruan pemerintah mulai tahun 1970 (Sukeni, 2008). Lalu timbul pertanyaan dalam benak masyarakat khususnya kaum ibu di jaman itu, ”Apa itu KB?”, ”Apakah saya harus ber-KB?”, ” Bagaimana cara saya ber-KB?”

Program KB pada prinsipnya suatu program untuk menekan pertambahan jumlah penduduk. Salah satu upaya dalam menerapkan program ini adalah direkomendasikannya penggunaan alat-alat kontrasepsi, seperti kondom, spiral, vasektomi, tubektomi, dan masih banyak yang lain.

Secara empiris, alat-alat kontrasepsi itu adalah produk dari suatu teknologi yang mendasarkan diri pada prinsip untuk mencegah bertemunya sperma (sel kelamin jantan) dengan ovum (sel kelamin betina), sehingga peristiwa pembuahan (fertilisasi) tidak terjadi.

Dengan Kemajuan teknologi, banyak sekali dibuat alat-alat kontrasepsi dalam berbagai bentuk dan kemasan. Ada yang berbentuk cairan, pil, dan alat-alat seperti di atas tadi serta ada pula yang ”mengganggu organ” si pemilik organ dengan malakukan tubektomi dan vasektomi.

Selama berkumandangnya program KB, Bali termasuk daerah yang sangat sukses menjalankan program itu di tingkat Nasional. Ini berarti bahwa program KB dapat diterima oleh masyarakat Bali. Hal ini terjadi karena petugas yang mensosialisasikan program ini hanya menyampaikan hal-hal yang bersifat baik saja. Nyaris kejelekannya tidak pernah diungkap oleh petugas. Tentu tidak hanya faktor ini yang menyebabkan diterimanya KB oleh masyarakat Bali. Dengan demikian wajarlah Bali pernah meraih penghargaan terbaik tingkat nasional dalam program KB.

Dibalik kesuksesan itu banyak muncul keluhan dari para pengguna alat kontrasepsi (alat KB) khususnya dari kaum ibu di Br. Wanakeling, Desa Sulangai, Kec. Petang, Badung yang berhasil penulis wawancarai dan amati, diantaranya : 1) ibu-ibu sebagian besar menjadi gemuk atau kurus, 2) sulit untuk punya anak lagi, 3) haid menjadi tidak teratur, 4) tekanan darah naik, 5) sering mengalami gemetar. Keluhan tadi merupakan suatu dampak yang sangat tidak dinginkan dan sangat menganggu. Mereka sebenarnya ingin bertanya ” dados suwud me-KB?”. Yen ten me-KB, sapunapi dadosne?.

Lalu muncul pertanyaan yang lain dalam benak masyarakat Bali terutama dengan munculnya slogan ”Ajeg Bali”. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain : Apakah hal ini merupakan suatu kebanggaan Kita selaku masyarakat Bali? Apakah penggunaan alat-alat KB ini tidak berpengaruh terhadap tubuh konsumennya secara permanen? Lalu bagaimana implikasinya terhadap budaya orang Bali yang menganut sistem emong Sanggah? Siapa yang akan mengurus Sanggag kita dengan segala upakara dan upacara yang semuanya itu adalah kebudayaan kita dari leluhur kita ada?

Menanggapi pertanyaan-pertenyaan itu, penulis memandang perlu untuk melakukan suatu kajian dari sudut filsafat tentang implikasi program KB pada masyarakat dan budaya Bali, demi eksistensi warga Bali.

Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah program KB ditinjau dari segi ontologinya?

2. Bagaimanakah program KB ditinjau dari segi epistemologinya?

3. Bagaimanakah program KB ditinjau dari segi aksiologinya?

4. Bagaimana pula implikasi program KB terhadap masyarakat dan budaya Bali?

Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui program KB ditinjau dari segi ontologinya?

2. Untuk mengetahui program KB ditinjau dari segi epistemologinya?

3. Untuk mengetahui program KB ditinjau dari segi aksiologinya?

4. Untuk mengetahui implikasi program KB terhadap masyarakat dan budaya Bali?

Manfaat

Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penulisan ini dapat dijadikan bahan acuan atau referensi untuk pengembangan program KB di Bali pada masa sekarang dan yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Penulis

Penulisan ini dapat memberikan wawasan bagi penulis tentang pengembangan program KB di Bali pada masa sekarang dan memramalkan prosprknya di masa yang akan datang.

b. Bagi Masyarakat

Penulisan ini dapat dijadikan refleksi oleh masyarakat terutama pasangan usia subur muda Bali, untuk menentukan sikap terhadap program KB

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KB Secara Ontologi

Ontologi andalah cabang filsafat yang membicaraka ”apa” (Watra, 2007:8). Dalam kaitannya dengan KB, maka perlu dipertanyakan apa itu KB? Program KB merupakan pengetahuan baru bagi masyarakat yang berada sekitar tahun 1970-an. Mereka seakan tidak percaya, bahwa kelahiran seorang anak manusia yang sangat suci itu bisa ”dipermainkan” dengan adanya program keluarga berencana.

KB kepanjangannya adalah Keluarga Berencana. Secara etimologi KB terdiri dari kata keluarga yang artinya 1) ibu dan bapak beserta anak-anak, 2) orang seisi rumah yang menjadi tanggungan, 3) sanak saudara, 4) satuan kekeluargaan yang sangat mendasar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:536) dan berencana yang berasal dari kata dasar rencana atau sama dengan to plan dalam bahasa inggris yang artinya niat, beragan, buram, rencana, mencadangkan (Echols, 2000:432). Jadi keluarga berencana adalah suatu rencana untuk menentukan jumlah atau komposisi anggota keluarga.

Dalam GBHN ditegaskan bahwa tujuan program Keluarga Berencana secara Nasional adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk (Hartanto, 1996:388).

Sementara menurut WHO (World Health Organisation) (1970), sebagaimana yang dikutip oleh Hartanto (1996:26), Keluarga Berencana diartikan sebagai suatu tindakan yang membantu individu atau pasangan suami isteri untuk :1) mendapat objek-objek tertentu, 2) menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, 3) mendapat kelahiran yang memang diinginkan, 4) mengatur interval di antara kehamilan, 5) mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami isteri, dan 6) menentukan jumlah anak dalam keluarga.

Paradigma baru program Keluarga Berencana Nasional berlandaskan pada visi “Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang kini telah diubah menjadi “Mewujudkan Keluarga Berkualitas tahun 2015” (Saifuddin, dkk, 2003). Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Misi program keluarga berencana ada enam buah misi, yaitu : 1) memberdayakan masyarakat untuk mmembangub keluarga kecil berkualitas, 2) menggalang kemitraan dalam peningkatan kesejahteraan, 3) meningkatkan kualitas pelayanan KB, 4) meningkatkan promosi, perlindungan dan upaya mewujudkan hak-hak reproduksi, 5) meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan keseteraan dan keadilan jender melalui program Keluarga Berencana, dan 6) mempersiapkan sumber daya manusia berkualitas sejak pembuahan dalam kandungan sampai usia lanjut.

Berdasarkan defenisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa keluarga berencana adalah suatu rencana yang dibuat untuk mengatur jumlah/komposisi anggota keluarga agar dapat meningkatan kesejahteraan ibu dan anak serta untuk mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera melalui pengendalian kelahiran.

2.2 KB Secara Epistemologi

Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas ”bagaimana” (Watra, 2007:8). Dalam kaitannya dengan KB, maka secara epistemologi bagaimanakah program ini dilaksanakan?

Untuk menyukseskan program KB, pemerintah melalui Dinas Kesehatan, yang bekerja sama dengan pihak/instansi terkait seperti misalnya dengan Dinas Pendidikan (untuk sosialisasi program keluarga berencana di tingkat sekolah), dan steakholder yang lain, telah berupaya dan berusaha untuk memasyarakatkan program KB. Sosialisasi program ini dilakukan untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang program KB. Program keluarga berencana di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1970 dengan dibentuknya Badan Koordinator Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Program keluarga berencana dilaksanakan dengan dua metode (Hartanto, (1996), yaitu : 1) metode pemilihan alat-alat keluarga berencana (disebut alat kontrasepsi) buatan, dan 2) Motode keluarga berencana secara alami. Dalam pemilihan metode kontrasepsi sebagai calon konsumen wajib untuk mengetahui syarat-syarat suatu metode kontrasepsi yang baik. Menurut Hartanto (1996) syarat-syarat metode kontrasepsi yang baik adalah : 1) aman/tidak berbahaya, 2) dapat diandalkan, 3) sederhana, sedapat-dapatnya tidak usah dilakukan oleh seorang dokter dan tenaga medis, 4) murah, 5) dapat diterima oleh orang banyak, dan 6) pemakaian jangka lama (continuation rate tinggi). Khusus untuk alat kontrasepsi buatan, syarat ini mutlak dipenuhi. Sementara untuk metode alami syaratnya adalah harus disiplin.

Untuk metode yang pertama, program keluarga berencana dirancang berwawasan gender sesuai dengan misi tadi, artinya alat kontrasepsi disediakan untuk perempuan maupun laki-laki (Saifuddin, dkk, 2003). Namun dalam pelaksanaannya pada tahun 1994 partisipasi perempuan secara nasional jumlahnya lebih banyak daripada laki-laki yakni sebesar 52,1% dengan segala metode montrasepsi buatan, sedangkan laki-laki sebesar 0,9 % dengan metode kondom dan 0,7 % vasektomi. Pada tahun 2000, partisipasi perempuan di Bali dalam menggunakan alat kontrasepsi sebesar 82 % dengan segala metode dan partisipasi laki-laki sebesar 18 % dengan metode kondom.Tingginya partisipasi perempuan dalam menggunakan alat kontrasepsi berbanding lurus dengan penderitaan yang dialami yang disebabkan oleh efek samping alat tersebut. Hal ini tercermin dari data Kanwil Bali tahun 2000 tentang efek samping alat kontrasepsi yang dialami perempuan dan laki-laki. (Sukeni, 2008).

Efek samping yang dialami perempuan sebanyak 161 kasus pengguna IUD, 43 kasus pengguna inplant, 1406 kasus pengguna suntikan, 333 kasus pengguna pil. Efek samping yang dialami laki-laki 15 kasus dari pengguna kondom.

Berdasarkan data di atas terdapat ketimpangan dan ketidakadilan gender dalam pelaksanaan program KB yang dapat diasumsikan bahwa ada upaya program keluarga berencana untuk mengiring perempuan dalam menggunakan alat kontrasepsi.

Mariyah (1989) dalam Sukeni (2008) menemukan bahwa faktor penyebab diterimanya program keluarga berencana di Desa Belong Karangasem melalui (1) sistem banjar bukan satu-satunya, tetapi juga disebabkan oleh tranprotasi, mata pencaharian, dan sikap masyarakat terhadap program. (2) Astiti (1994) menemukan bahwa program keluarga berencana di terima di Desa Baturiti Tabanan disebabkan masyarakat di sana telah mengenal konsep keluarga kecil sebelumnya dan lebih mengutamakan kualitas anak yang dikenal dengan suputra, (3) M.E Khan & Bella Patel (1997) menemukan di Agra Distrik India bahwa suami dominan dalam pengambilan keputusan mengenai proses reproduksi, jumlah anak, kapan hamil, pemakaian dan pemilihan alat kontrasepsi, serta pengguguran kehamilan yang tidak diinginkan, (4) Ida Ayu Sriudiyani (2003) menemukan di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Bengkulu, bahwa pengambilan keputusan untuk ber-KB didominasi oleh suami walaupun istri bekerja juga, (5) Eka Martiningsih dan I Wayan Wana (2004) menemukan di Bali bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ikutnya laki-laki dalam keluarga berencana terdiri atas delapan faktor dan dilakukan secara bersama-sama, (6) Endah Winarni (2005) menemukan di Jakarta bahwa hampir semua laki-laki yang menikah mengetahui sedikitnya satu jenis alat kontrasepsi yang didapat dari Puskesmas, bidan, apotik, TV, dan koran.

Banyak teori yang menjelaskan mengapa perempuan khususnya di Bali mau mengikuti program keluarga berencana. Alasan yang diungkapkan oleh Sukeni (2008), yang dirangkum dari berbagai sumber adalah pertama, teori Hegemoni Gramsci (2001) dipergunakan untuk menganalisis bentuk, foktor-faktor pendorong terjadinya hegemoni negara, dan dampaknya karena teori tersebut mengatakan bahwa hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang diperoleh melalui mekanisme konsensus dengan menggunakan instansi yang ada dalam masyarakat yang didorong oleh faktor ideologi dan politik serta berdampak terhadap kehidupan sosial dan individu mereka yang terhegemoni. Kedua, teori feminisme radikal Dworkin (2003) dipergunakan untuk menganalisis hubungan perempuan dan laki-laki karena teori tersebut mengatakan bahwa kepemimpinan yang hegemonik menempatkan perempuan subordinat laki-laki. Ketiga, adalah teori perlawanan De Witt ( 1979) dipergunakan dalam menganalisis resistensi perempuan.

Teori tersebut mengatakan bahwa dalam suatu komunitas, konsensus tidak pernah tercapai seratus persen dan mereka yang tidak setuju pada suatu saat akan mengadakan perlawanan yang dilakukan secara nyata dan diam-diam.

Berdasarkan pemaparan di atas nampak bahwa program keluarga berencana dikemabangkan dengan dua metode yaitu metode KB buatan (kontrasepsi buatan) dan KB alami. Untuk dapat menyukseskan program ini, melalui Dinas Kesehatan, yang bekerja sama dengan pihak/instansi terkait seperti misalnya dengan Dinas Pendidikan (untuk sosialisasi program keluarga berencana ditingkat sekolah), dan steakholder yang lain.

2.3 KB Secara Aksiologi

Aksiologi adalah cabang filsafat yang berbicara tentang ”apa gunanya/untuk apa” (Watra, 2007:8). Dalam kaitannya dengan program KB, maka apa gunanya KB? Apa manfaatnya KB?

Dalam visi dan misi program keluarga berencana, tertuang paradigma baru program Keluarga Berencana Nasional berlandaskan pada visi “Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang kini telah diubah menjadi “Mewujudkan Keluarga Berkualitas tahun 2015” (Saifuddin, dkk, 2003). Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Misi program keluarga berencana ada enam buah, yaitu : 1) memberdayakan masyarakat untuk mmembangun keluarga kecil berkualitas, 2) menggalang kemitraan dalam peningkatan kesejahteraan, 3) meningkatkan kualitas pelayanan KB, 4) meningkatkan promosi, perlindungan dan upaya mewujudkan hak-hak reproduksi, 5) meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan keseteraan dan keadilan jender melalui program Keluarga Berencana, dan 6) mempersiapkan sumber daya manusia berkualitas sejak pembuahan dalam kandungan sampai usia lanjut.

Dari visi dan misi di atas nampak bahwa tujuan dimunculkannya program KB secara nasional adalah sangat baik. Untuk mewujudkan keluarga kecil memang mudah. Tetapi untuk mewujudkan keluarga sejahtera sangat susah. Ini terkait dengan banyak hal. Salah satu diantaranya faktor pemenuhan kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia sangat banyak. Oleh Maslow, sebagaimana yang dikutip oleh Rosyada, D. (2004) kebutuhan manusia antar lain : 1) Kebutuhan fisiologis yang mencakup kebutuhan akan makanan, pakaian, dan perumahan (pangan, sandang, dan papan). 2) Kebutuhan memperoleh rasa aman. 3) Kebutuhan memperoleh kasih sayang dan kebersamaan. 4) Kebutuhan memperoleh penghargaan. 5) Kebutuhan untuk pemenuhan diri atau aktualisasi diri.

Dari pemaparan di atas, sangatlah wajar apabila setiap manusia yang sudah berkeluarga wajib mengikuti program keluarga berencana agar tujuan program KB secara nasional dapat tercapai dan sukses untuk dikemudian hari. Lantas bagimana halnya dengan Orang Bali? Di bawah ini diceritakan sekelumit kebudayaan orang Bali dalam hal pengaturan kehidupan berkeluarga.

2.4 Sekelumit Tentang Budaya KB di Bali

Manusia merupakan makhluk yang berbudaya, sehingga kebudayaan sering diartikan sama dengan “kemanusiaan”. Ilmu kebudayaan ini kemudian diistilahkan dengan “The Humanities” atau Humaniora. Manusia menciptakan kebudayaan karena hakekat kemanusiannya, setelah kebudayaan tercipta dengan itu kemudian manusia melestarikan “peri kemanusiaanya” (Dharmayuda, 1995).

Setelah manusia mengenal tubuhnya dan sesamanya, bahkan bila berkembang dengan sesamanya (melalui perkawianan), maka berikutnya akan menciptakan sarana untuk mempertahankan hidup. Sarana yang dimaksud dalam arti yang luas adalah kebudayaan, maka selanjutnya manusia hidup dalam keberbudayaannya. Menurut C.Kulckholn dalam sebuah karangannya berjudul “Universal Categorie of Culture” sebagaimana diuraikan oleh Koentjaraningrat (1992) dalam bukunya “Antropologi Sosial” mengatakan dari berbagai macam skema tentang Cultural Universal yang bisa didapatkan pada semua masyarakat di dunia adalah sistem peralatan dan perlengkapan hidup, sistem mata pencaharian hidup, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi.

Menurut teori Arnold J. Toynbee dalam Tamburaka (2002) dalam Andari dan Nirmayani (2008), menyatakan bahwa kebudayaan adalah akibat dari Chalenge and Response. Segala ciptaan manusia pada hakikatnya adalah hasil usaha manusia untuk mengubah dan mem bentuk serta membuat susunan baru kepada pemberian alam, sesuai dengan kebutuhan jasmani dan rohaninya, itulah yang dinamakan kebudayaan atau culture.

Salah satu uapaya yang dapat memunculkan kebudayaan adalah perkawinan. Perkawinan untuk membentuk rumah tangga menurut ajaran Hindu dalam lontar Çlokantara, dilakukan setelah melalui fase “Brahmacari” (Kusuma, 1996). Dalam suatu rumah tangga kehadiran seorang anak manusia sangat didambakan. Terbentuknya anak manusia akibat dari bertemunya sperma laki-laki dengan ovum seorang perempuan.

Sebagaimana yang tertulis dalam lontar Çlokantara penciptaan anak manusia akibat dari pertemuan yang disengaja antara sperma (kama petak/çukla swanita) yang dikeluarkan oleh laki-laki/purusa dengan Ovum (kama bang/ pradana) yang dikeluarkan oleh seorang perempuan (Kusuma, 1996:3-4) yang tentunya dimulai dari prosesi upacara ritual keagamaan sehingga dilahirkan anak yang suputra.

Implikasi dari teori Arnold J. Toynbee dalam Tamburaka ini dapat kita lihat pada masyarakat Bali yang sangat terkenal karena kebudayaannya. Salah satu budaya orang Bali dalam hal penataan komposisi keluarga yang tidak pernah dijumpai di tempat lain adalah “KB ala Bali”.

Pada dasarnya “KB ala Bali” ini sudah mengandung pembatasan jumlah kelahiran (Natalitas). Fenomena pembatasan jumlah anak di Bali tercermin dari pemberian nama Wayan/Putu/Gede/Luh, Made/Kadek/Nengah untuk anak pertama dan anak kedua. KB ala Bali pada dasarnya tidak “saklek”. Toh kalau pasangan suami isteri masih menginginkan anak yang ketiga, disediakan nama Nyoman. Kalau pun masih “kebobolan” ada nama cadangan lagi satu untuk anak keempat yaitu Ketut.

Istilah Wayan/Putu/Gede/Luh, Made/Kadek/Nengah kalau ditelaah lebih jauh terkait dengan KB secara Nasional, sudah mencerminkan slogan KB “dua anak cukup”. Keluarga Bali menganut sistem emong Sanggah dari kaum laki-laki (purusa) dan perempuan meninggalkan sanggah. Ini bermakna, bahwa pihak laki-laki jauh lebih bertanggung jawab terhadap kelesterian budaya leluhurnya ketimbang perempuan.

2.5 Implementasi KB pada Masyarakat dan Budaya Bali

Nilai anak di mata masyarakat sungguh agung. Beda dengan nilai rumah. Orang cenderung bertanya, "Sudah punya berapa anak?" ketimbang " Berapa rumah yang telah dibangun? lustrasi itu dikuak oleh Suryani (dalam Bali Post, Rabu 18 Januari 2006), untuk menerjemahkan beberapa urgen kedudukan anak dalam keluarga. Urgensinya menurut Suryani, anak dianggap sebagai generasi penerus sejarah keberadaan keluarganya. “Anak pun bisa menjadi tolok ukur masyarakat dalam menilai sebuah keluarga.” Secara khusus, Suryani melacaknya dari struktur social cultural masyarakat Bali. Kedudukan anak meniscayakan adanya makna urgentif generasi tersebut guna melanjutkan sejarah keberadaan keluarganya. ”Namun, anak pria yang dianggap sebagai penerima tongkat estafet. Anak wanita dianggap kelak akan keluar dari keluarganya setelah menikah,”, hal itu membuat anak wanita dalam sistem sosial kultural masyarakat Bali dipahami bukan sebagai keluarga.

Melihat fenomena sekarang nampaknya Jargon KB Nasional ” Dua anak cukup laki perempuan sama saja”, begitu menusuk pada pemikiran masyarakat Bali. Bahkan saking hebatnya propaganda ini, Bali sukses menjadi finalis terbaik di tingkat nasional. Hingga kini pun KB masih menjadi pijakan bagi keluarga muda Bali dalam memproyeksikan masa depan keluarganya.

Pertama berbentuk sosialisasi melalui sistem banjar yang dilakukan oleh elit pemerintah seperti pelaksana lapangan program keluarga berencana (PLKB), dokter, dan bidan dalam mensosialisasikan program pada saat ada rapat banjar untuk mencapai konsensus yang dihadiri oleh anggota dan pengurus. Kedua, sosialisasi program keluarga berencana melalui sistem klinik dilakukan oleh bidan dan dokter pada saat calon akseptor memeriksakan kehamilan dan saat melahirkan di puskesmas, bidan, dan posyandu saat penimbangan balita.

Anjuran membentuk keluarga kecil dalam upaya mengurangi jumlah penduduk secara bertahap yang sekaligus dapat mengurangi anggaran belanja rumah tangga. Sosialisasi itu dilakukan juga sebagai suatu perlombaan oleh petugas untuk menjadi juara memberikan perstise pada masyarakat bersangkutan, pengejaran prestasi menjadi dambaan setiap karyawan untuk menunjang karier.

Bukan untuk menentang program Nasional, tetapi hanya untuk mengingatkan kembali hakikat dasar dari KB, demi eksistensi manusia Bali. Sebenarnya program KB sudah dikenal oleh masyarakat Bali jauh sebelum program ini dilancarkan oleh pemerintah. Hanya saja ada sedikit perbedaan jumlah.

Pada dasarnya “KB ala Bali” ini sudah mengandung pembatasan jumlah kelahiran (Natalitas). Fenomena pembatasan jumlah anak di Bali tercermin dari pemberian nama Wayan/Putu/Gede/Luh, Made/Kadek/Nengah untuk anak pertama dan anak kedua. KB ala Bali pada dasarnya tidak “saklek”. Toh kalau pasangan suami isteri masih menginginkan anak yang ketiga, disediakan nama Nyoman. Kalau pun masih “kebobolan” ada nama cadangan lagi satu untuk anak keempat.

Jika program KB secara nasional terus diterapkan di Bali akan muncul kontroversi baru yaitu hilangnya nama Nyoman dan Ketut dalam Budaya Bali. Mestinya manusia Bali harus percaya dengan pesan leluhurnya tersebut dan mau melestarikannya.

Hentikan sudah KB dua anak cukup kalau hanya alasan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga (Suardika, 2006:22). Dalam konsep Hindhu, setiap anak diyakini membawa rejekinya masing-masing. Tetapi kita tidak berpegangan pada slogan jawa “ banyak anak banyak rejeki”. Ingat kita ini orang Bali. Coba bayangkan, jika dalam satu keluarga memiliki dua orang anak, dan hanya satu yang laki-laki, maka ia sendiri yang akan memikirkan kelanjutan Sanggahnya dalam ritual. Kalau semua anaknya perempuan dan akhirnya menikah? Siapa yang akan mengurus Sanggahnya? Mungkin kalau kasus ini terjadi, akan memunculkan dampak baru antar anggota satu dadia yang memiliki anak laki-laki, dan akhirnya satu persatu Sanggah atau Merajan berubah menjadi toko.

Tidak hanya kasus tadi, dalam konsep Pitra Yadnya, siapakah yang akan menunaikan tugas anak yang Suputra kalau kedua anak perempuannya menikah ke luar? Tentu yang pertama adalah tetangga kita yang akan membantu. Akan tetapi jika tetangga kita kasusnya sama dengan kita bagaimana jadinya? Berat, sungguh berat kasus seperti ini. Alam Pitara pun akan menjadi tidak harmonis setelah alam manusia tidak kondusif lagi dalam mendukungnya untuk berjalannya siklus Reinkarnasi.

Tidak hanya itu, di zaman yang modern ini, manusia cenderung merantau mencari penghasilan. Kalau dua anak tadi semuanya merantau siapa yang akan menyama braya?. Dengan KB ala Bali, jumlah anak maksimal adalah empat orang yaitu sampai Ketut. Dan biasanya anak yang paling bungsu akan ngerobin orang tuanya dan menggantikan posisi orang tua dalam kegiatan Medesa Adat, mebanjar dan menyama braya. Sedangkan tiga anak yang lebih tinggi kedudukannya dalam keluarga, boleh merantau dengan segala kelebihan yang dimiliki demi eksisnya orang Bali di luar kandang. Sehingga tidak sia-sia mencetak manusia Bali yang berkualitas.

Sebuah fakta, saat ini saja dengan sejak Bali meraih finalis terbaik dalam menyukseskan program KB, jumlah manusia Bali mengalami kemerosotan yang sangat drastis. Dulu saat KB nasional dikumandangkan jumlah manusia Bali diperkirakan 2 s/d 2,5 juta jiwa. Tetapi, setelah KB sukses di Bali, jumlah penduduk Bali sudah mencapai 3,2 juta jiwa. Dari mana datangnya penduduk itu?

Ternyata program pengurangan jumlah penduduk yang ingin dicapai melalui KB tidak kesampaian. Setiap habis Lebaran, jumlah penduduk Bali kian bertambah banyak. Saat arus balik, orang-orang yang dari luar Bali kembali ke Bali dengan membawa saudara-saudaranya untuk mencari penghidupan. Pulau Bali yang kecil, begitu berat menahan beban ’luberan lumpur orang dari luar Bali’. Sehingga Tanah Bali menjadi sesak oleh ”lumpur tadi”. Bukankah lebih baik tanah Bali padat dengan Manusia Bali ketimbang sesak pengap oleh orang dari luar Bali? Sebab paling tidak ada yang diajag untuk ngayahang Sanggah, yadnya dan ngajegang Budaya Baline. Lalu untuk apa kita ber-KB?

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Dari pemaparan di atas dapat dibuat kesimpulan bahwa :

1. Seacara ontologi, program keluarga berencana adalah suatu rencana yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatur jumlah/komposisi anggota keluarga agar dapat meningkatan kesejahteraan ibu dan anak serta untuk mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera melalui pengendalian kelahiran.

2. Secara epistemologi, program ini dilaksanakan dengan mengadakan sosialisasi pada tingkat sekolah, masyarakat (sistem banjar), dan semua steakholder terkait demi suksesnya program KB.

3. Secara aksiologi, program keluarga berencana bertujuan untuk membentuk keluarga kecil bahagia dan sejahtera, sesuai dengan visi dan misi program KB. sehingga pada tahun 2015 melalui KB terwujudlah KB (keluarga berkualitas). Di samping terwujudnya keluarga bahagia, efek samping dari KB sangat banyak, yang rata-rata merugikan konsumen.

4. Budaya Bali, dalam mengatur jumlah anggota keluarganya sudah menerapkan sistem KB ala Bali, yaitu dengan jumlah anak maksimal mencapai empat orang, demi eksistensi Manusia Bali. Untuk anak pertama diberi nama Wayan/Putu/Gede/Luh, untuk anak kedua diberi nama Made/Nengah/Kadek, untuk anak ketiga diberi nama Nyoman. Sedangkan kalau kebobolan disediakan satu nama lagi untuk anak keempat yaitu Ketut.

5. Demi eksistensi orang Bali, nampaknya implemtasi program KB pada masyarakat dan budaya Bali tidak relevan.

3.2 Saran-Saran

Menyimak simpulan tadi, serta fenomena yang terjadi di masyarakat zaman sekarang, penulis dapat menyarankan:

  1. Demi eksistensi orang Bali, gunakanlah KB ala Bali sebagai warisan leluhur kita, karena bebas dari efek samping, asalkan kita sebagai pengguna tetap disiplin.
  2. KB buatan yang berbentuk cairan atau pil, sebaiknya dihindari karena banyak mengandung efek samping yang merugikan tubuh konsumennya.

DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar