Minggu, 27 September 2009

Desain Pembelajaran

DESAIN PEMBELAJARAN INOVATIF

Oleh : I Gede Joniarta, S.Pd

Guru SMP Negeri 3 Petang

2008

I. Judul Pembelajaran : Pembelajaran Sains SD

II. Model Pembelajaran : Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Teams-Achievement Division) dengan Pola Bermain Peran

III. Ringkasan Model Pembelajaran

Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)

Selama ini banyak sekali keluhan dari para guru tentang siswa yang tidak bisa mandiri dalam belajar. Sering kali moncemooh temannya yang sudah mau untuk ikut berbagi pendapat dalam pembelajaran. Dalam belajar siswa juga kurang bekerja sama, kerja sama dilakukan pada saat ulangan/tes saja, padahal hal itu tidak diinginkan oleh guru. Tentu suasana seperti ini sangat tidak efektif untuk pembelajaran, dan bahkan sangat merugikan siswa. Lalu bagaimana kiat guru untuk mengatasi hal seperti ini? Banyak cara yang bisa dilakukan, salah satunya adalah dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan pola bermain peran.

Ada banyak definisi yang dikeluarkan tentang pembelajaran kooperatif. Definisi-definisi itu (dalam Hasruddin, 2005) antara lain :

1. Slavin (1991): “Cooperative learning methods share the idea that students work together to learn and are responsible one another’s learning as well as their own”.

2. Newman dan Artzt (1990): “Cooperative learning is approach that involves a small group of learners working together as a team to solve a problem, complete a task, or accomplish a common goal”.

3. Johnson dan Johnson (1991): “ Cooperative learning is the instruction use of small groups a that student work together to maximize their own and each other’s learning”.

4. Cohen (1994): “Cooperative learning will be defined as student working together in a group small enough that everyone participate on a collective task that has been clearly assigned. Morever, students are expected to carry out their task without direct and immediate supervision of the teacher”.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang menginginkan pebelajar berada dalam kelompok-kelompok kecil yang didalamnya terjadi kerja sama, saling bertukar pikiran untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok, pemecahan masalah, dan tanggung jawab untuk mencapai hasil belajar secara individu maupun kelompok.

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang didasarkan oleh pandangan kognitif-konstruktivis dari teori Piaget dan Vygotsky (Depdiknas, 2004). Hal ini terlihat dari salah satu teori Vygotsky, yaitu tentang hakikat sosiokultural dari pembelajaran. Implikasi teori Vygotsky dalam pembelajaran adalah dikehendakinya susunan kelas berbentuk kooperatif antar siswa dan adanya penekanan pada scaffolding. Scaffolding adalah bantuan dari orang yang lebih mampu, lebih mengetahui, dan lebih terampil dengan tujuan membantu anak memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi (Wood, Brunner, dan Ross, 1976 dalam Suyanto, 2005).

Pembelajaran kooperatif muncul dari anggapan bahwa siswa akan lebih mudah belajar, menemukan dan memahami konsep yang sulit apabila berada dalam kelompok-kelompok belajar sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam masing-masing zona of proximal development (ZPD) mereka. Zone of proximal development adalah perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini (Slavin dalam Depdiknas, 2004). Tingkat perkembangan saat ini adalah tingkat pengetahuan awal atau pengetahuan prasyarat yang terkait dengan konsep yang akan mereka pelajari (Suyanto, 2005).

Model pembelajaran kooperatif sangat berbeda dengan pembelajaran langsung (Depdiknas, 2004). Model ini dikembangkan untuk mencapai hasil belajar akademik, memfasilitasi pengelolaan kelas dan materi pelajaran, serta dapat meningkatkan harga diri siswa (Blosser dalam Suyanto, 2005). Trianto (2007) menambahkan bahwa pembelajaran kooperatif sangat efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Sementara pada pembelajaran langsung lebih menekankan pada penguasaan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural (Arends, 1997 dalam Trianto, 2007).

Menurut Arnyana (2005), ciri-ciri pembelajaran kooperatif yaitu: 1) Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi pelajarannya. 2) Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki keragaman kemampuan. 3) Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, agama, dan jenis kelamin yang berbeda. 4) Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok ketimbang pada individu. Ciri-ciri ini merupakan pengejewantahan dari apa yang disampaikan oleh Slavin (1995). Menurut Slavin (dalam Trianto, 2007), pembelajaran kooperatif menggunakan kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang siswa yang sederajat tetapi heterogen. Heterogenitas yang dimaksud adalah heterogenitas dalam hal kemampuan, jenis kelamin, suku/ras. Sederajat artinya setiap anggota kelompok merasa senasib sepenanggungan sehingga anggota kelompok satu sama lain saling membantu.

Menurut Sanjaya, (2008), “pembelajaran kooperatif memiliki dua komponen utama yaitu, komponen tugas kooperatif (cooperative task) dan komponen struktur insentif kooperatif (cooperative insentive structure)”. Tugas kooperatif berkaitan dengan hal yang menyebabkan anggota bekerja sama dalam menyelesaikan tugas kelompok; sedangkan struktur insentif kooperatif sesuatu yang membangkitkan motivasi individu untuk bekerja sama mencapai tujuan kelompok. Struktur insentif merupakan keunikan dari pembelajaran kooperatif, karena melalui struktur insentif setiap anggota kelompok bekerja keras untuk belajar, mendorong dan memotivasi anggota lain menguasai materi pelajaran, sehingga mencapai tujuan kelompok

Motivasi mempunyai peranan yang sangat strategis dalam aktivitas belajar seseorang. Salah satu prinsip motivasi dalam belajar menurut Djamarah (2000) adalah, ”motivasi berhubungan erat dengan kebutuhan dalam belajar yaitu kebutuhan untuk menguasai sejumlah pengetahuan. Oleh karena itulah anak didik belajar”. Sesuatu yang dapat membangkitkan motivasi dalam kelompok adalah pengakuan setiap anggota kolompok, dan penghargaan kepada kelompok. Adanya pengakuan setiap anggota kelompok dalam kelompok merupakan pemenuhan kebutuhan berasosiasi (Dimyati dan Mudjiono, 2002).

Menurut Maslow (dalam Rosyada, D., 2004) kebutuhan-kebutuhan manusia antara lain;1) Kebutuhan fisiologis. 2) Kebutuhan memperoleh rasa aman. 3) Kebutuhan memperoleh kasih sayang dan kebersamaan. 4) Kebutuhan memperoleh penghargaan. 5) Kebutuhan untuk pemenuhan diri atau aktualisasi diri.

Kebutuhan untuk hidup bersama dapat dilihat dalam kelompok-kelompok belajar yaitu adanya interaksi dan saling ketergatungan dari setiap anggota kelompok.. Kebutuhan akan penghargaan nampak dari adanya penghargaan terhadap kelompok di akhir kegiatan pembelajaran. Penghargaan merupakan suatu reinforser positif (Dahar, 1989). Reinforcement merupakan pandangan dari teori belajar perilaku yang sangat berbeda dengan teori kognitif-konstuktivis (Semiawan, C., 2002). Apabila reinforser positif ini diberikan kepada kelompok kooperatif, seyogianya dapat meningkatkan mental/motif belajar siswa untuk menguasai apa yang telah dipelajari. Menurut Suryabrata (2007), pemberian reinforsement menyebabkan perilaku tadi akan dilakukan secara berulang-ulang sampai pada menemukan perilaku berikutnya. Implikasi pernyataan ini dalam pembelajaran kooperatif adalah penciptaan dan penyusunan kembali pengetahuan pada diri seseorang yang telah belajar melalui pengalaman, pengamatan, pencernaan (digest), dan pemahamnnya (Semiawan, C., 2002). Sehingga menjadikan diri siswa selalu dalam keadaan bersaing tetapi bukan dengan kelompoknya melainkan dengan hari kemarin untuk membangun pengetahuan yang lebih baik di hari esok (Sanjaya, 2008).

David, dkk. (1984) dalam Suyanto (2005) mengidentifikasi empat elemen dasar dalam belajar kooperatif yaitu: 1) Adanya saling ketergantungan yang menguntungkan pada siswa secara bersama-sama. 2) Adanya interaksi langsung diantara siswa dalam satu kelompok. 3) Adanya tanggung jawab dari masing-masing siswa terhadap penguasaan materi pelajaran, dan 4) Adanya penggunaan kemampuan interpersonal secara tepat yang dimiliki oleh setiap siswa dalam kelompok. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sanjaya (2008) sebagai prinsip dasar pembelajaran kooperatif.

Prinsip dasar yang dimaksud secara rinci dijelaskan oleh Sanjaya (2008) sebagai berikut :

1. Prinsip Ketergantungan Positif (positive interdependence)

Dalam pembelajaran kooperatif, keberhasilan dalam suatu penyelesaian tugas-tugas kelompok sangat tergantung pada usaha yang dilakukan oleh setiap anggota kelompoknya. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa setiap anggota dalam kelompok wajib memiliki rasa saling ketergantungan dengan anggota yang lain dalam penyelesaian suatu tugas tertentu yang dibebankan kepadanya (terkait dengan adanya pelimpahan tugas). Apabila dalam pengerjaan tugas yang dibebankan tadi ada yang tidak mampu mengerjakannya, maka merupakan suatu kewajiban bagi anggota kelompok yang memiliki kemampuan lebih (scaffolding) untuk mau dan mampu membantu temannya dalam menyelesaikan tugasnya.

2. Tanggung Jawab Perseorangan (individual accountability)

Akibat dari pelimpahan tugas kepada setiap anggota kelompok, maka setiap individu dalam kelompok wajib untuk bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. Dan setiap anggota kelompok harus memberikan hal yang terbaik buat kelompoknya. Hal ini merupakan konsekuensi dari prinsip pertama.

3. Interaksi Tatap Muka (face to face promotion interaction)

Pembelajaran kooperatif memberikan kesempatan dan ruang yang amat luas kepada setiap anggota kelompok untuk saling bertatap muka, saling memberikan informasi dan saling membelajarkan. Sehingga setiap individu dalam kelompok wajib untuk bekerja sama, menghargai perbedaan, dan memanfaatkan kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing anggota kelompok.

4. Partisipasi dan Komunikasi (participation communication)

Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk dapat berperan aktif dan berkomunikasi. Untuk dapat berkomunikasi dengan baik, maka guru harus membekali siswa dengan keterampilan komunikasi terlebih dahulu sebelum pembelajaran dilakukan.

Keterampilan komunikasi dalam pembelajaran kooperatif lebih dikenal dengan keterampilan kooperatif. Menurut Lundgren (dalam Depdiknas, 2004; Trianto, 2007), keterampilan-keterampilan kooperatif tersebut antar lain sebagai berikut :

1. Keterampilan kooperatif tingkat awal, meliputi :

a. Berada dalam tugas, yaitu menjalankan tugas sesuai dengan tanggung jawabnya sehingga tugas dapat diselesaikan tepat pada waktunya;

b. Mengambil giliran dan berbagi tugas, yaitu menggantikan teman dengan tugas tertentu dan mengambil tanggung jawab tertentu dalam kelompok;

c. Mendorong adanya partisipasi, yaitu memotivasi anggota kelompok untuk memberikan kontribusi dan menghargai kontribusi;

d. Menggunakan kesepakatan, yaitu menyamakan persepsi/pendapat;

e. Menghormati perbedaan individu, yaitu mengakui perbedaan yang dimiliki oleh setiap anggota kelompok atau menjunjung tinggi prinsip heterogenitas.

2. Keterampilan kooperatif tingkat menengah, meliputi :

a. Mendengarkan dengan aktif, yaitu menggunakan pesan fisik dan verbal agar pembicara memahami Anda secara energik menyerap informasi;

b. Bertanya, yaitu meminta atau menanyakan informasi atau klarifikasi lebih lanjut;

c. Menafsirkan, yaitu menyampaikan kembali informasi dengan kalimat yang berbeda;

d. Memeriksa ketepatan, yaitu membandingkan jawaban bahwa jawaban tersebut adalah benar;

e. Mengatur dan mengorganisir, yaitu adanya pendistribusian dan pelimpahan tugas sesuai dengan kemampuan anggota kelompok;

f. Menerima tanggung jawab, yaitu menerima setiap tugas yang diberikan kepada masing-masing anggota kelompok untuk dikerjakan sesuai dengan kemampuan dan memberikan hal yang terbaik untuk kelompok;

g. Mengungkap ketidaksetujuan dengan cara yang dapat diterima, yaitu mengutarakan rasa tidak setuju terhadap sesuatu dengan mengedepankan sikap harga-menghargai dan saling menghormati.

3. Keterampilan kooperatif tingkat mahir, meliputi :

a. Mengelaborasi, yaitu memperluas konsep;

b. Memeriksa dengan cermat;

c. Menanyakan kebenaran;

d. Menetapkan tujuan;

e. Berkompromi;

f. Membuat kesimpulan dengan menghubungkan pendapat-pendapat dengan topik tertentu.

Agar pembelajaran kooperatif dapat berjalan dengan efektif maka kepada siswa harus ditanamkan unsur-unsur dasar yang menunjang untuk pencapaian hal tersebut. Menurut Nur (dalam Hasruddin, 2005), unsur-unsur dasar tersebut adalah :

1. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka ”tenggelam atau berenang bersama”.

2. Para siswa memiliki tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam kelompoknya, di samping tanggung jawab terhadap diri sendiri, dalam mempelajari materi yang dihadapi.

3. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semuanya memiliki tujuan yang sama.

4. Para siswa harus membagi tugas dan berbagi tanggung jawab sama besarnya di antara para anggota kelompok.

5. Para siswa akan diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok.

6. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar, dan

7. Para siswa akan diminta pertanggungjawabannya secara individual terhadap materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

Tujuan dibentuknya kelompok kooperatif menurut Slavin (dalam Depdiknas, 2004) adalah untuk memberikan kesempatan kepada semua siswa agar dapat berperan aktif dalam berpikir dan dalam kegiatan pembelajaran. Tujuan lain dari pembelajaran kooperatif adalah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan bekerja secara kolaborasi untuk mencapai tujuan bersama (Egen and Kauchak, 1996 dalam Trianto, 2007).

Menurut Trianto (2007), pembelajaran kooperatif disusun dalam rangka untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk meningkatkan partisipasinya dalam pembelajaran, memberikan pengalaman kepemimpinan, dan membuat keputusan dalam kelompok, memberikan kesempatan berinteraksi dengan sesama anggota kelompok dengan latar belakang yang berbeda. Jadi dalam pembelajaran kooperatif peran siswa diibaratkan seperti sisi mata uang logam yang tidak pernah terpisahkan. Artinya dalam pembelajaran kooperatif siswa bisa sebagai pebelajar atau bisa juga sebagai guru (rekan sejawat), terutama untuk teman-teman dalam kelompoknya (Trianto, 2007). Santiyasa (2004), menambahkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat merangsang kemampuan berpikir siswa, memupuk rasa percaya diri, memperluas perspektif intelektual siswa dan membentuk sikap siswa untuk tidak egosentris.

Pembelajaran kooperatif muncul dari anggapan bahwa siswa akan lebih mudah belajar, menemukan dan memahami konsep yang sulit apabila berada dalam kelompok-kelompok belajar (Depdiknas, 2004). Kelompok-kelompok belajar merupakan masyarakat kecil yang sedang belajar dalam paradigma pendidikan demokrasi (Rosyada, D., 2004). Hal ini mengacu kepada pandangan John Dewey dan Herbert Thelan (dalam Trianto, 2007) yang menyatakan bahwa pendidikan dalam masyarakat yang demokratis seyogianya mengajarkan proses demokrasi secara langsung. Tingkah laku kooperatif dipandang oleh Dewey dan Thelan sebagai dasar demokrasi. Tempat yang baik untuk mengembangkan sikap demokrasi dari sejak awal adalah di sekolah.

Mengingat ciri utama dan prinsip dasar pembelajaran kooperatif di atas maka sangatlah wajar dibentuk kelompok-kelompok belajar. Pembentukkan kelompok kooperatif dilakukan oleh guru dengan menerapkan struktur tingkat tinggi, dan guru juga harus menjelaskan semua prosedur yang ada. Meskipun demikian, guru tidak dibenarkan untuk mengelola tingkah laku siswa dalam kelompok secara ketat, siswalah yang berhak lebih banyak dalam menentukan aktivitas dan perilaku kelompoknya.

Agar pembelajaran kooperatif berjalan lebih efektif, maka seyogianya materi pelajaran tersedia lengkap di kelas, ruang guru, perpustakaan ataupun di pusat media. Selain itu, agar pembelajaran kooperatif dapat berjalan sesuai dengan harapan, maka siswa harus dibekali dengan keterampilan-keterampilan kooperatif sebelum pembelajaran dimulai (Trianto, 2007).

Untuk dapat menerapkan pembelajaran kooperatif di kelas, maka ada enam langkah yang harus diikuti oleh guru. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif dapat dilihat pada Tabel 01 di bawah ini. Langkah-langkah ini sangat membantu para guru khususnya guru pemula yang baru ingin mencoba menerapkan strategi ini.

Tabel 01

Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif

Fase

Tingkah Laku Guru

Fase-1

Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

Fase-3

Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kooperatif

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.

Fase-4

Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.

Fase-5

Evaluasi

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

Fase-6

Memberikan penghargaan

Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Sumber : Depdiknas (2004)

STAD (Student Teams-Achievement Division)

STAD atau Tim Siswa-Kelompok Prestasi merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Dalam STAD siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok dengan anggota 4-5 orang dan setiap kelompok haruslah heterogen. Diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian materi, kegiatan kelompok, kuis, dan penghargaan kelompok. Guru menyajikan pelajaran, dan kemudian siswa bekerja di dalam tim mereka untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut.

Slavin (1995) dalam Arnyana (2005), menyatakan pembelajaran kooperatif tipe STAD memiliki lima komponen utama yang perlu diperhatikan yaitu:

(1) Presentasi kelas (class presentation). Materi pelajaran dipresentasikan oleh guru dengan menggunakan metode ceramah dan diskusi. Siswa mengikuti presentasi guru dengan seksama guna persiapan untuk tes berikutnya.

(2) Kerja kelompok (team). Kelompok terdiri dari 4-5 orang. Dalam kegiatan ini, setiap anggota kelompok bersama-sama mendiskusikan masalah yang dihadapi, membandingkan jawaban, atau memperbaiki miskonsepsi. Kelompok diharapkan bekerja sama dengan sebaik-baiknya dan saling membantu untuk menguasai pelajaran.

(3) Tes (quizzes). Setelah kegiatan presentasi guru dan kegiatan kelompok, siswa diberikan tes secara individu. Dalam menjawab tes siswa tidak diperkenankan saling membantu.

(4) Peningkatan skor individu (individual improvement score). Setiap anggota kelompok diharapkan mencapai skor hasil tes yang tinggi karena skor ini akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan skor rata-rata kelompok. Skor kemajuan dapat diperoleh dari membandingkan skor awal dengan skor akhir.

(5) Penghargaan kelompok (recognition). Kelompok yang dapat mencapai rata-rata skor tinggi (sesuai dengan yang telah ditetapkan sebelumnya), diberikan sertifikat atau penghargaan (rewards).

Sebelum melakukan pembelajaran kooperatif tipe STAD, seorang guru terlebih dahulu harus mempersiapkan segala sesuatu dengan matang. Persiapan-persiapan tersebut antara lain (Trianto, 2007) :

a. Perangkat pembelajaran seperti Rencana Pembelajaran (RP) yang dalam KTSP diistilahkan dengan RPP, buku siswa, Lembar Kerja Siswa (LKS) beserta jawabannya.

b. Membentuk kelompok kooperatif. Pembentukan kelompok tetap mengacu kepada prinsip dasar pembentukkan kelompok yaitu prinsip heterogenitas.

c. Menentukan skor awal. Skor awal yang dapat digunakan dalam kelas kooperatif adalah nilai ulangan sebelumnya.

d. Pengaturan tempat duduk. Ini merupakan kegiatan setting yang tujuannya untuk memudahkan guru memantau aktivitas siswa selama bekerja dalam kelompok.

e. Kerja kelompok. Siswa bekerja dalam kelompok masing-masing dengan menjunjung tinggi tujuan kelompok. Setiap anggota kelompok wajib memiliki keterampilan kooperatif demi kelancaran kerja kelompok.

Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe STAD ini tetap mengacu kepada pembelajaran kooperatif yang terdiri dari enam fase. Fase-fase dalam pembelajaran ini disajikan dalam Tabel 02 berikut ini. Fase-fase ini wajib diikuti apabila ingin menerapkan pembelajaran kooperatif tipe STAD.

Tabel 02

Fase-fase Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

Fase

Kegiatan Guru

Fase-1

Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

Fase-2

Menyajikan/menyampaikan informasi

Menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan mendemonstrasikan atau lewat bahan bacaan.

Fase-3

Mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar

Menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.

Fase-4

Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.

Fase-5

Evaluasi

Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

Fase-6

Memberikan penghargaan

Mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Sumber : Ibrahim, dkk (2000) dalam Trianto (2007)

Penghargaan atas keberhasilan kelompok dapat dilakukan oleh guru dengan mengikuti tahapan-tahapan sbagai berikut :

a. Menghitung skor individu

Menurut Slavin (dalam Hasruddin, 2005), untuk memberikan skor perkembangan individu dihitung seperti Tabel 03 berikut ini.

Tabel 03

Perhitungan Skor Perkembangan

Skor tes

Skor Peningkatan Individu

Lebih dari 10 poin di bawah skor awal

00

Antara 10-1 poin di bawah skor awal

10

Antara 0-10 poin di atas skor awal

20

Lebih dari 10 poin di atas skor awal

30

Hasil terbaik (mengabaikan skor awal)

30

b. Menghitung skor kelompok

Skor kelompok ini dihitung dengan membuat rata-rata skor perkembangan anggota kelompok, yaitu dengan menjumlahkan semua skor perkembangan yang diperoleh anggota kelompok dibagi dengan jumlah anggota kelompok. Sesuai dengan dengan rata-rata skor perkembangan kelompok, diperoleh kategori skor kelompok seperti pada Tabel 04 berikut ini.

Tabel 04.

Tingkat Penghargaan Kelompok

Rata-rata Skor

Predikat

0

-

5

Tim baik

15

Tim hebat

25

Tim super

Sumber : Ratumanan (2002) dalam Trianto (2007)

c. Penghargaan kelompok

Setelah masing-masing kelompok memperoleh predikat, guru memberikan hadiah/penghargaan kepada masing-masing kelompok sesuai dengan predikatnya.

3.3 Bermain Bagi Anak

Pada hakikatnya semua anak suka bermain, hanya anak yang sakit saja tidak senang bermain. Bermain adalah suatu kegiatan yang begitu mengasyikkan bagi si anak. Mereka menghabiskan sebagaian besar waktunya untuk bermain, baik sendiri, dengan teman sebayanya, maupun dengan orang yang lebih dewasa. Bentuk permainannya pun beraneka ragam. Menurut para ahli PAUD bermain merupakan faktor penting dalam kegiatan pembelajaran, dan esensi bermain harus menjadi roh dari setiap kegiatan pembelajaran (Suyanto, 2005).

Kegiatan bermain perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Kenapa demikian? Di zaman yang semakin maju dan modern banyak anak-anak yang kehilangan kesempatan bermainnya karena tuntutan orang tua yang kurang mengerti tentang arti bermain bagi si anak. Anak-anak itu dituntut oleh orang tuanya untuk belajar, belajar dan belajar supaya menjadi anak pintar dan menjadi juara kelas. Orang tua merasa bangga kalau anaknya menjadi juara kelas, dan semakin bangga apabila anaknya mengikuti berbagai macam les di luar kelas. Hal ini terutama terjadi di daerah perkotaan.

Sebagai contoh nyata, di Denpasar banyak sekali bisa ditemui guru-guru pengajar les, yang setiap hari ”memperkosa” waktu anak-anak SD setelah pulang sekolah. Mulai pukul 16.00-20.00 Wita kegiatan itu terus dilakuakan. Kalau setiap hari waktu anak-anak itu diperkosa hanya untuk belajar, lalu kapan kesempatan mereka untuk bermain?

Bermain bagi anak merupakan suatu kegiatan yang serius namun mengasyikkan. Melalui bermain, berbagai pekerjaannya dapat terwujud (Semiawan, 2002). Bermain adalah aktivitas yang dipilih oleh anak, karena menyenangkan buka karena pujian. Bermain adalah medium, di mana si anak dapat mencobakan diri, bukan saja dalam fantasinya, tetapi juga dalam kenyataannya.

Banyak dilakukan penelitian oleh para ahli untuk menelusuri arti penting (esensi) bermain bagi anak. Dari penelitian itu muncul teori-teori bermain. Ada dua macam teori yang menjelaskan hakikat bermain bagi anak yaitu teori klasik dan teori modern (Suyanto, 2005).

Teori klasik menerangkan ada empat alasan yang sangat mendasar mengapa anak gemar bermain. Keempat dasar tersebut menurut Suyanto (2005) sebagai berikut :

1) Kelebihan energi

Teori ini didukung oleh filsuf Inggris, Herbert Spencer, yang menyatakan bahwa anak akan bermain apabila si anak memiliki energi dari eneri yang diperlukan untuk hidupnya.

2) Rekreasi dan Relaksasi

Jika anak sudah lelah dengan pekerjaannya, maka si anak akan beristirahat dengan mencari solusi yang tepat. Pada umumnya anak lebih suka dengan perrmainan. Karena dengan bermain segala kelelahan yang dirasakan menjadi hilang dan mereka merasa segar kembali.

3) Insting

Menurut teori ini kegemaran anak bermain merupakan suatu sifat bawaan (insting) yang berguna untuk mempersiapkan kehidupan anak menjadi dewasa kelak. Jika seorang anak berpura-pura menjadi guru, ayah atau ibu, hal itu akan menjadi sangat penting ketika mereka menjadi seorang guru, ayah atau ibu.

4) Rekapitulasi

Teori ini menyatakan bahwa bermain merupakan pengulangan dari apa yang pernah dilakukan oleh nenek moyang kita dan sekaligus mempersiapkan diri untuk hidup zaman sekarang. Anak-anak sangat suka bermain air, tanah atau pasir, seakan-akan mengulang permainan manusia zaman prasejarah dan sekaligus belajar tentang benda itu.

Teori modern, memandang bermain merupakan bagian dari perkembangan anak, baik kognitif, emosional maupun sosial anak. Teori ini dibedakan menjadi tiga yaitu :

1) Teori Psikoanalisis

Teori ini memandang bahwa bermain merupakan alat pelepasan emosi, mengembangkan rasa percaya diri, dan memungkinkan anak untuk mengekspresikan dirinya tanpa ada tekanan batin (Freud, 1958; Erikson, 1963 dalam Suyanto, 2005).

2) Teori Perkembangan Konitif

Teori ini memandang bahwa bermain merupakan bagian dari perkembangan kognitif anak. Dalam bermain, anak dapat mengembangkan kemampuan untuk berpikir, pemecahan masalah terhadap suatu kondisi, situasi, dan objek, yang menuntut mereka untuk lebih berpikir secara bebas dan fleksibel (Bruner, 1972; Piaget, 1962; Sutton-Smith, 1968 dalam Suyanto, 2005).

3) Teori Belajar Sosial

Teori ini menerangkan bahwa bermain merupakan alat untuk sosialisasi. Teori dikembangkan berdasarkan teori Piaget yang menerangkan bahwa dalam bermain kooperatif anak dapat mengembangkan kemampuan sosialnya, dan teori Vygotsky yang menyatakan bahwa dalam bermain anak seakan-akan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari kesehariannya.

Bermain memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan anak pada hampir semua bidang perkembangan, baik perkembangan fisik-motorik, intelektual, bahasa, sosial, maupun emosional. Fungsi bermain bagi anak menurut Suyanto (2005) adalah: 1) Dapat mengembangkan kemampuan motorik. 2) Dapat mengembangkan kemampuan kognitif. 3) Mengembangkan kemampuan afektif. 4) Mengembangkan kemampuan bahasa. 5) Mengembangkan kemampuan sosial.

Banyak sekali bentuk permainan yang ada di dunia. Apa pun bentuk permainannya, esensinya tetap sama. Menurut Suyanto (2005), esensi bermain adalah :

1. Aktif

Dalam bentuk permainan apa pun anak selalu aktif, baik secara fisik maupun psikis. Dalam bermain anak biasanya melakukan eksplorasi, investigasi, eksperimen, dan ingin tahu tentang orang, benda, ataupun kejadian.

2. Menyenangkan

Kegiatan bermain nampak sebagai sebuah kegiatan untuk bersenang-senang. Tetapi ada kalanya juga anak yang terlibat dalam permainan menjadi menangis, karena bermainnya keterlaluan. Bila hal itu terjadi, biasanya anak akan menjadi cepat sadar dan tidak membawa hal itu sampai berlarut-larut apalagi sampai bermusuhan.

3. Motivasi Internal

Untuk mengikuti suatu permainan, biasanya anak tidak dipaksa oleh temannya. Mereka secara sukarela dan penuh kesadaran mengikuti permainan.

4. Memiliki Aturan

Setiap permainan ada aturannya. Aturan itu mereka buat dan disepakati bersama. Sehingga aturan pada permainan yang sama di daerah yang berbeda tidak bisa sama.

5. Simbolis dan Berarti

Dalam bermain anak bisa menggunakan suatu objek sebagai simbol dari benda atau orang lain. Peran-peran yang dimainkan anak biasanya meniru peran-peran orang dewasa dalam masyarakatnya sehingga kegiatan itu menjadi sangat berarti bagi mereka.

Parten (1932) dalam Suyanto (2005), menerangkan lima tingkat perkembangan bermain sebagai berikut :

1. Bermain Sendiri

Pada mulanya anak asyik bermain sendiri (soliter play). Sifat egosentris anak begitu menonjol. Si anak jarang memperhatikan teman yang sedang bermain di sekelilingnya. Misalnya, Si Udik dengan menggunakan robot Power Ranger, asyik memainkan robot itu dengan mengucapkan kata-kata sendiri seolah-olah dia sedang menjadi power ranger.

2. Bermain Secara Paralel dengan Temannya

Pada tahap bermain secara paralel (paralel play), anak bermain secara berdampingan dengan temannya, tetapi mereka masih bermain sendiri-sendiri dengan menggunakan bahan bermain yang sejenis. Kadang-kadang mereka saling melihat, saling berkomentar, atau bercakap-cakap. Tahap ini disebut dengan on looking play.

3. Bermain dengan Cara Melihat Temannya Bermain

Dalam tahap ini, anak yang tadinya bermain sendiri kini sudah mulai melihat apa dan bagaimana temannya bermain. Si anak sesekali berhenti sejenak untuk bermain dan mengamati bagaimana temannya bermain kemudian menirukannya. Pada tahap ini disebut cooperative play.

4. Bermain secara Bersama-Sama

Pada tahap ini anak sudah bermain secara bersama-sama, beramai-ramai. Pada tahap ini disebut cooperative play.

5. Bermain dengan Aturan

Pada tahap ini anak sudah bermain dalam bentuk tim dengan segala aturan permaianan yang mereka buat dan disepakati bersama timnya.

Bentuk permainan anak sangat bervariasi. Di wilayah NKRI ada sekitar 690 macam permainan bagi anak (Ki Hajar Dewantara, 1948 dalam Suyanto, 2005). Dari sekian banyak jenis permainan itu, pada dasarnya permainan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut :

1. Permainan Fisik

Permainan yang menekankan pada penggunaan fisik. Dengan bermain, fisik anak akan menjadi lebih kuat, dan sehat untuk melakukan kegiatan dasar.

2. Permainan Lagu-Lagu Anak-Anak

Lagu anak-anak biasanya dinyanyikan sambil bergerak, menari, atau berpura-pura menjadi sesuatu atau seseorang. Lagu yang dinyanyikan dapat bersifat humoris, ada yang mengnadung teka-teki, dan ada pula yang mengandung nilai-nilai ajaran yang luhur. Dalam bermain lagu, yang terpenting adalah ritmenya atau bunyi akhir yang sama.

3. Bermain Teka-Teki dan Berpikir Logis Matematika

Banyak permainan yang tujuannya untuk megembangkan kemampuan bepikir logis dan matematis. Salah satu di antaranya adalah permainan kartu Naruto. Permainan ini menggunakan kartu yang berisi gambar Naruto yang masing masing kartu telah berisi nomor. Dengan permainan ini, mereka dapat. Misalnya, belajar tentang bilangan genap dan bilangan ganjil.

4. Bermain dengan Benda-Benda

Permainan dengan objek seperti air, batu, pasir dan balok dapat membantu anak mengembangkan berbagai aspek perkembangan. Si anak dapat mempelajari ciri-ciri dari objek tersebut.

5. Bermain Peran

Jenis permainan ini antara lain sandiwara, drama, bermain peran, dan jenis permainan lain ketika si anak memerankan orang lain. Permainan ini sangat baik untuk mengembangkan kemampuan bahasa, komunikasi, dan memahami peran-peran tertentu dalam kehidupan dan masyarakat.

3.4 Pembelajaran Kooperatif tipe STAD dengan Pola Bermain Peran

Dengan memahami arti bermain bagi anak, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bermain merupakan suatu kebutuhan bagi anak (Semiawan, C., 2002). Dengan merancang pembelajaran tertentu untuk dilakukan sambil bermain, maka anak belajar sesuai dengan tuntutan taraf perkembangannya.

Untuk mengajarkan sesuatu kepada anak yang masih dalam tahap pra-operasional sampai pada operasional kongkret menurut Semiawan C. (2002), belajar sambil bermain merupakan suatu keputusan yang sangat baik. Belajar sama pentingnya dengan bermain, sehingga antara belajar dan bermain tidak ada ditekankan dan menekankan.

Sering sekali cara belajar formal dilakukan demi kebanggaan orang tua. Orang tua bangga anaknya menjadi juara kelas, anak di pacu untuk belajar, belajar dan belajar, supaya menjadi pintar. Selain itu guru juga ingin menghabiskan materinya cepat-cepat. Menurut Semiawan C. (2002), pembelajaran yang seperti itu berdampak sangat tidak menguntungkan bagi si anak. Pada kelas rendah SD anak itu pintar, tetapi ternyata semakin tinggi kelasnya anak itu tidak pintar lagi. Sedangkan, mereka yang terpenuhi kebutuhan akan bermainnya makin tumbuh dengan metal yang semakin baik untuk menghadapi dunianya.

Di sekolah, terutama di SD menurut Semiawan C. (2002) mottonya seyogianya: “jangan pompakan fakta-fakta yang tidak saling terkait ke dalam benak. Anak seyogianya belajar konsep dengan proses yang bermakna, sedapat mungkin melalui permainan”. Khusus pada bidang Sains, seorang saintis dan matematikus dari Perancis bernama Jules Henri Poincare (dalam Semiawan, C., 2002), menyatakan ”Sains memang dibangun atas fakta-fakta ibarat rumah yang dibangun dari batu. Tetapi, apabila fakta-fakta itu tidak saling terkait, maka ibarat seperti tumpukan batu yang berada di dalam rumah”. Jadi seharusnya sains diajarkan dengan suatu proses berfikir.

Pembelajaran sains pada kelas rendah di SD menggunakan suatu tema tertentu yang biasanya merupakan tema yang sangat dekat dengan kehidupan anak. Pembelajaran yang seperti itu dikenal dengan tematik unit ( Suyanto, 2005). Bila yang dibicarakan itu adalah bagian tubuh, dengan menerapkan tematik unit tema pokok ini dibagi menjadi beberapa sub-tema. Misalnya, sub-tema bagian tubuh tumbuhan dan bagian tubuh hewan.

Dengan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe STAD siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4-5 orang dengan tetap memperhatikan prinsip heterogenitas. Setiap individu dalam kelompok mendapat tugas yang berbeda sesuai dengan tema.

Untuk sub-tema bagian tubuh tumbuhan, siswa diberi peran sebagai peneliti, guru, dan murid. Peneliti tugasnya adalah mengamati sesuatu. Dalam hal ini peran peneliti dimainkan untuk mengamati bagian tubuh tumbuhan. Guru berperan untuk menjelaskan bagian-bagian tumbuhan kepada siswanya. Sedangkan siswa, tugasnya untuk bertanya, menjawab dan mengerjakan sesuatu.

Untuk dapat memainkan peran yang didapatkan, maka siswa harus mengamati setiap peran itu di sekolah dan berlatih untuk bermain atas bantuan guru. Jadi sebelum menerapkan model pembelajaran ini, hendaknya guru memberikan bekal keterampilan kooperatif dan bekal berakting kepada siswa agar pembelajaran dapat berjalan sesuai harapan. Dalam bermain peran itu, siswa bebas untuk beraktivitas dan berperilaku seperti peran yang didapatkan.

Setelah bermain peran dalam kelompok kooperatif dilanjutkan dengan diskusi untuk menyatukan persepsi. Guru tetap membimbing siswa. Dan akhirnya setelah proses kerja kelompok selesai, guru memberikan kuis. Hasil kuis selanjutnya di periksa dan didapatkan skor masing-masing siswa, sehingga diperoleh skor kemajuan individu siswa. Skor kemajuan siswa inilah selanjutnya diakumulasikan untuk dijadikan acuan dalam pemberian predikat bagi kelompok.

Berdasarkan pemaparan di atas, nampak bahwa dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dikombinasikan dengan pola bermain peran pada pembelajaran sains SD dapat memfasilitasi siswa dalam pemahaman konsep sains dan perkembangan mental siswa.